Krick….mobil hitam tua berhenti tepat di depan toko tempat tamrin berteduh. Dari sana keluar wanita tua dengan payung hitam ditangannya. Mata tamrin berbinar , segera ia berlari memeluk wanita tua itu tak dihiraukan lagi hujan yang hampir membuatnya basah kuyup.
“Mak, saya kangen”, Tamrin tak kuasa Manahan luapan air matanya. Wanita tua yang dipanggilnya “emak” hanya terdiam dan meneteskan air matanya.
“Ayo cepat naik Nak, kau basah kuyup” perintahnya. Tamrin pun masuk ke mobil rental yang telah disiapkan untuk menjemputnya. Betapa bahagianya tamrin melihat bapaknya di mobil ikut menjemput. Ia segera menyalami dan mancium tangan bapaknya. Masih tercium aroma rokok kretek ditangannya. Bapaknya hanya terdiam dan hampir tanpa ekspresi.
“Mak, tapi kemana sumi? Kenapa ia tidak ikut menjemputku?” mata tamrin memandangi seluruh sudut mobil mencari sosok yang sangat dirindukannya.
“Eh…istrimu mungkin sedang menjaga anak. Sudahlah, kita pulang kerumah dulu ya”. Jawab Emaknya terbata.
Memasuki kampung Campaniga, jantung tamrin berdegup kencang. Ada sensasi aneh yang tak bisa ia jelaskan melihat pemandangan ini. Kampungnya tak banyak berubah sejak ia tinggalkan 5 tahun lalu. kampung tempatnya dilahirkan, kampung tempat ia tumbuh besar bersama ke empat adiknya, tempat ia setiap hari harus menempuh jarak berkilo-kilo jauhnya mengenakan baju kumal dan lusuh didampingi sepatu yang hampir saja menganga demi untuk sampai ke sekolah. Bahkan disini pulalah ia menemukan pelabuhan hatinya, Sumiati yang telah memberikannya seorang putra. Semuanya baik-baik saja, berjalan sesuai dengan harapannya sampai sesuatu yang buruk akhirnya terjadi padanya.
“Nasrun? Kapan kau datang?” Tanya tamrin dengan nada heran.
“Kau ini bagaimana, saya kan menginap disini” tamrin hanya terdiam mendengar jawaban nasrun dan bergegas mengambil air wudhu. Selesai sholat tamrin kembali merebahkan dirinya di kasur.
“Daeng…sarapanlah dulu sebelum ke sawah” sumiati mengetuk pintu kamarnya.
“Ia, tunggu sebentar” tamrin kaget melihat jam sudah menunjukkan pukul 10.00 WITA. Rupanya tamrin baru terbangun saat mendengar teriakan istrinya. Ini sudah sangat telat untuk kesawah. Tapi ia harus tetap pergi untuk menanam bibit yang belum selesai ditanamnya. Tamrin menuju ruang makan dengan wajah kesal.
“Kenapa tidak bangunkan saya? Ini sudah sangat siang dan panas untuk ke sawah” teriak tamrin pada istrinya.
“Lah, saya tidak tahu kalau daeng mau kesawah pagi-pagi” jawab sumi.
“Apa kamu tidak tahu kalau masih banyak bibit yang harus ditanam?” suara tamrin makin meninggi. Sementara istrinya hanya diam saja tidak menanggapi tamrin.
“lalu kemana Nasrun? Apa kau melihatnya pulang?” Tamrin kembali bertanya. sumati tetap terdiam dan masih sibuk dengan ikan yang digorengnya.
Wajah tamrin memerah, napasnya tersengal-sengal dan hidungnnya kembang kempis. Tiba-tiba, Prak! tamrin mengambil gelas dan melemparkan kearah istrinya. Untung saja gelas itu membentur dinding dan pecah berkeping-keping. sumiati kaget bukan kepalang. Air matanya tumpah, lidahnya kelu tak mampu berkata apa-apa. Ia tak menyangka suaminya tega melakukan ini padanya.
“Kenapa kamu diam saja? kamu anggap saya ini apa? Memangnya saya tembok yang tidak perlu diperhatikan saat bicara?” Tamrin masih saja meneriaki istrinya tanpa merasa bersalah sedikitpun.
“Tamrin! Ini sudah waktunya sholat Ashar. Pergilah ke masjid untuk adzan” bujuk nasrun.
Tamrin lalu menghentikan pekerjaannya di sawah dan bergegas membersihkan diri sebelum ke masjid. Saat bersiap-siap akan mengumandangkan adzan, mike masjid ternyata mati dan tak bisa digunakan. Tamrin lalu memandangi nasrun.
“Kenapa mikenya mati?” Tanya tamrin heran .
“saya rasa ini disengaja. Sepertinya warga tidak mau kamu adzan disini lagi tamrin!” jawab nasrun.
Tamrin lagi-lagi naik pitam. Kemarahannya kali ini semakin menjadi. Ia segera menuju ke rumah pak imam yang tepat disamping masjid. Tamrin mengambil batu dan melemparkannya kearah kaca rumah imam masjid.
“Hei Imam sialan, keluar kamu. Memangnya kamu ini siapa? Apa hak kamu melarang saya adzan di masjid? Memangnya masjid ini milik kamu Hah?” suara tamrin membahana. Pak imam pun keluar dari rumah mendengar cacian yang ditujukan padanya.
“Tamrin! Tenang dulu. Saya memang mematikan mike di masjid karena kamu adzan sebelum waktunya. Lihat sekarang baru jam dua siang dan kamu sudah adzan ashar. Saya sudah memperingatkan kamu tapi kamu tidak mengindahkannya jadi saya terpaksa memakai cara ini” terang pak imam dengan wajah ketakutan.
Mendengar hal itu tamrin merasa digurui. Bukannya tenang, tamrin malah semakin menjadi-jadi. Ia nekat menyerang pak imam dan alhasil satu pukulan telak tepat mendarat di wajah sang imam masjid. Melihat hal itu, warga datang berkerumun dan berusaha melerai memisahkan tamrin dari pak imam. Hari itu juga, diantar oleh beberapa warga dan keluarganya, tamrin dibawa ke salah satu rumah sakit jiwa yang ada di Makassar. Sepanjang jalan tamrin terus memberontak. Sementara, Mak sinar dan sumiati terus menangis tersedu-sedu tak tega melihat suaminya diikat seperti tahanan. Tapi ia tak punya pilihan selain menuruti paksaan warga untuk membawa tamrin ke Rumah sakit jiwa. Warga tidak bisa lagi memaafkan kelakuan tamrin kali ini. Keluarganya pun memutuskan untuk membawa tamrin ke Rumah Sakit Jiwa karena selama ini tamrin selalu bicara sendiri dengan seseorang yang ia panggil nasrun.
“Pak tamrin, kalau Bapak mendengarkan atau melihat lagi orang yang bapak sebut sebagai Nasrun, tutup mata bapak dan katakana ‘Saya tidak mau lihat kamu’dan saat Bapak mendengarnya mengatakan sesuatu tutup telinga Bapak dan katakana ‘saya tidak mau dengar’. Hal inilah yang selalu diajarkan oleh perawat pada tamrin. Memukul bantal saat ingin marah, dan menyibukkan diri dengan aktivitas sehari-hari. Tamrin mulai bisa menerima kalau memang ada yang salah pada dirinya. Ia pun mulai bisa menerima kenyataan kalau Nasrun yang ia anggap sebagai sahabat terbaiknnya adalah khayalannya saja. Tapi kadang ia tak kuasa menahan untuk tidak bicara dengan nasrun. Disaat ia rindu dengan istri, Anak, dan keluarganya yang lain, ia merasa hanya nasrunlah yang bisa diajak bicara.
“Mak, kemana yang lain? adik-adik, sumi dan Anto, mereka kemana?” Tanya tamrin penasaran.
“Adik-adikmu tidak mau datang kesini, mereka itu malu dan takut sama kamu!” Pak Rusdi menjawab sinis. Mendengar hal itu tamrin tertunduk. Ia mengingat kembali hal-hal buruk yang pernah ia lakukan pada adik-adiknya. Rasanya wajar kalau mereka takut dan malu untuk bertemu dengan kakaknya yang pernah tinggal di RSJ.
“Lalu sumi dan Anto kemana pak?” tamrin kembali bertanya.
Sebelum pak Rusdi bicara, Mak sinar cepat-cepat menjawab sendiri pertanyaan anaknya. “ Hm…kamu yang sabar nak, Istrimu sudah menikah setahun yang lalu. sekarang ia dan anakmu Anto tinggal bersama suaminya di desa sebelah” Mak sinar mengusap punggung anaknya dan berusaha menenangkan tamrin.
Tamrin merasa langit gelap yang dari tadi menumpahkan hujan, runtuh di kepalanya. Ada tembok besar yang menghimpit dadanya, sesak. Air mata yang dari tadi berusaha di bendung akhirnya tumpah juga membentuk aliran-aliran kecil di pipinya. Jadi kaerna ini sumi tak lagi menjenguknya setahun terakhir? Bisiknya dalam hati. Ia menangis sejadi-jadinya. Ingin rasanya marah, memukul, dan membanting barang seperti yang dulu sering ia lakukan. Tapi Tidak! Ia pun tak tahu sekarang harus marah pada siapa, ia sudah berjanji pada dirinya sendiri akan berubah dan mulai menata hidupnya kembali. Walaupun saat ini ia harus menghadapi kenyataan akan menjalani hidup tanpa istri dan anak disisinya.
“Apa kabar sumi?” tamrin membuka percakapan.
“Baik daeng. Kapan daeng keluar? Sejenak mereka bicara sekedar basa basi sampai sumi mulai membuka percakapan serius.
“Maafkan saya daeng, saya tak sanggup lagi hidup denganmu. Saya membutuhkan seseorang yang bisa menghargai dan menyayangi saya. Saya malu daeng. Anto juga selalu menangis saat pulang dari sekolah karena di ejek oleh temannya punya Bapak gila. Jadi saya memutuskan untuk menikah dengan orang lain” sumi bercerita sambil terus meneteskan air matanya.
Tamrin pulang dengan hati menangis. Tak disangkanya bahkan di rumah sakit pun ia tetap membuat luka untuk keluarganya. Ternyata begitu sulit membuat masyarakat menerima dirinya bahkan keluarganya.
“Pak safa’, saya duduk disini ya!” tamrin langsung mengambil tempat di samping seorang laki-laki paruh baya yang ia panggil pak safa’.
Pak safa’ hanya diam dan memandangi tamrin. Tapi tak lama ia memindahkan kursinya ke tempat lain. tanpa disadari tamrin, ternyata yang lain juga mengambil tempat menjauh dari tamrin. Tamrin mulai merasa risih. Ia merasa semua mata memandang padanya dan mencoba menghakiminya. Akhirnya, tanpa menyentuh makanan pesta sedikitpun ia memutuskan untuk pulang. Tamrin masuk kekamarnya dan berdiam diri beberapa waktu lamanya. Diam-diam ia mulai merindukan sosok nasrun yang dulu selalu ia ajak bicara.
“Tamrin, apa kamu sedih karena mereka tak mau bicara denganmu?” sosok yang sangat dikenal tamrin tiba-tiba muncul didepannya dengan senyuman lebar.
Tamrin menutup mata dan telinganya. “pergi…pergi…kamu itu tidak ada. Saya tidak mau melihat kamu” tamrin berusaha menghilangkan sosok nasrun dari hadapannya.
“Apa kamu tidak kangen padaku tamrin? Lihatlah, hanya saya yang mau mengajakmu bicara”. Walaupun sangat sulit, tamrin terus berusaha untuk tidak menghiraukan nasrun.
Semakin lama, tamrin merasa semakin kesepian, ia mulai tidak teratur mengkonsumsi obat karena tidak tahan merasakan tubuhnya yang selalu kaku. Sosok nasrun pun semakin sering muncul. Sekeras apapun ia mencoba menghilangkan sosok nasrun, namun nasrun selalu saja muncul. Tamrin tanpa sadar mulai mengajak nasrun bicara sesekali. Sampai akhirnya ia memutuskan untuk menerima kembali kehadiran nasrun dalam kehidupannya. “Yah, Jika dunia ini tidak mau menerimaku, maka Aku akan mencari dunia lain yang mau menerimaku”.